Ben
Sore ini gue masih berkutat dengan
beberapa design yang harus gue serahkan ke bos gue besok pagi. Satu persatu teman-teman
kantor gue sudah mulai bersiap-siap pulang, tiba-tiba satu notifikasi muncul.
Aurora Kemala: Ben, temenin ngopi
yuk?
Bodo amat dengan design-design ini, bisalah
nanti malam gue begadangin, buru-buru gue menelfon perempuan yang tahunan
namanya tidak pernah lepas dari pikiran gue,
insane, I know.
"Halo, Ra?"
"Ben!"
"Udah kelar kerjaan, Ibu
pengacara?”
"Belum sih, tapi harusnya engga
lama lagi selesai. Temenin ngopi yuk, Ben?" Aurora menyambut telfonnya
hangat, seperti biasa.
"Tapi gue laper, Ra. Dudung abis
itu ngopi?"
"Cinta banget ya lo sama si
Dudung, baru bentar absen udah kangen. Fine,
Dudung habis itu ngopi. 30 menit lagi ya?"
"Ok."
Dudung–Sop Kaki Kambing Dudung Roxy–
asal aja, by the way, gue menyingkat
begitu, one of my favorite remedy
kalau lagi sakit kepala kerjaan numpuk di kantor. Aneh ya, sakit kepala malah
makan kambing, malah semakin darah tinggi, tapi biasanya pasti gue ajak Aurora.
Buat gue, dia adalah stress reliever,
jadi imbang ketika ada Dudung di depan gue dan Aurora di samping gue menemani.
Aurora
Sambil makan Dudung–his favorite–aku ngga tahan untuk ambil
HP dan mengambil beberapa gambar dia lagi makan, belakangan aku baru sadar, Ben
ini kalau diperhatikan dengan brewok asalnya dan kemeja putih yang selalu dia
gulung sesiku itu, ganteng juga.
"Apa sih orang lagi kepanasan
dan kepedesan malah difoto-foto?"
"Snapchat! Say hi dong Ben!" Aku mengarahkan HP-ku ke Ben, Ia masih
terlihat fokus pada makanannya.
Sampai tinggal tetes terakhir di
mangkuk Dudungnya, Ia bertanya, "Apa sih gunanya main snapchat?"
"Loh, kan lo ada snapchat,
Ben?"
"Iya, tapi enggak nemu dimana
pentingnya. Lagian kan waktu itu lo yang maksa bikin."
"Menurut gue, snapchat ini emang
enggak penting sih, teman gue bahkan ada yang bilang snapchat itu buat ajang
pamer-pameran sama teman-teman dekat aja, tapi meaningful."
"How?"
"Di snapchat ini, kita bisa
pilih moment mana yang kita kehendaki
untuk simpan atau biarkan meluap hilang gitu aja setelah 24 jam. Kalau kita
mau, ya bisa kita save di camera roll, we can keep those moments forever. Kalau engga, yaudah biarin aja
sampai hilang sendiri."
Ben mengangguk-angguk tanda setuju.
Ben
Sampai di lobi apartment Aurora,
seperti biasa gue impulsif melepaskan seatbelt-nya. "Terima kasih ya Ra,
mau nemenin panas-panasan di Dudung."
"Anytime, Benji. Mau masuk dulu atau langsung cabut? Besok meeting pagi ya?"
"Ra.."
Lidah gue mendadak kelu. Pikiran gue
tiba-tiba beranjak dari masi kini ke 17 bulan yang lalu, saat gue mengutarakan
terang-terangan perasaan gue terhadap wanita yang sedang duduk persis disebelah
gue ini. Gue bersyukur dengan apa yang sedang gue jalani bersama Aurora,
nyatanya sekarang Ia tidak kemana-mana, Ia bersama gue meskipun tidak ada
ikatan apa-apa di antara kami. Namun, ego yang harusnya bisa gue kendalikan ini
menginginkan lebih.
"Yes?"
"About that snapchat ‘asal-asalan’ philosophy you stated before..."
"Hahaha, sialan dibilang
asal-asalan,” Ia tertawa.
"Saat-saat yang lo jalani
bersama gue, yang lo capture selama
17 bulan kemarin, kita berdua aja begini, lo pilih untuk simpan atau lo biarkan
menghilang begitu aja?"
"Engga gue save sih selama ini."
Muka gue mungkin saat itu adalah muka
ter-bloon sedunia. "Oh..."
Tapi kemudian Aurora tersenyum, I swear her smile that night was the best
amongst all.
"But I'll make sure those moments stay in my head. Forever."
– The
End –