Jakarta, early 2015
Jakarta sejuk sekali senja ini. Jendela-jendela
di Kopi Kita basah oleh titik-titik hujan yang baru saja reda beberapa menit
lalu.
“Why can’t we just get over each other, Ga?”
Kalla terkesima dengan pemandangan
yang Ia lihat dari kaca bening di sebelahnya. Ia menerawang jauh sambil
bergumam tak sadar.
Persis di sebrang tempat Ia duduk,
Raga justru terkesima dengan perempuan yang barusan bergumam sesuatu yang Ia
tak yakin maksudnya apa. “She always
looks wonderful. Kalla selalu ngingetin gue sama Kate Middleton. Graceful namun
sangat sederhana,” Raga bergumam, dalam hatinya.
“Kenapa, Kal?”
“Eh, engga.” Kalla grogi ketahuan
bergumam sendiri namun memilih untuk tersenyum simpul.
“Lama engga ketemu, kamu jadi suka
bengong.”
“Aku tuh tadi lagi mikir kalau
hujan dan kopi itu soul mate. Mereka
tuh cocok banget kalau disandingin berdua ya, Ga.” Kalla mulai meracau, menutup
rasa groginya.
“Hujan
dan kopi. Kamu dan aku,” Raga jadi berkhayal.
“Lama engga ketemu, kamu juga jadi
suka bengong kayak aku.”
Raga tertawa. “Jangan sok tahu ah
kamu, Kal. Kalau ternyata hujan lebih suka disandingin sama teh atau susu
gimana?”
“Mmm.. Aku ragunya sih malah hujan
sukanya selingkuh sama mie instan, Ga.”
Mereka kemudian tertawa.
Tawa rindu yang sudah menderu selama
tahunan akhirnya lepas bersamaan dengan bunyi petir yang masih sayup-sayup
terdengar namun tak lagi begitu menakutkan.
***
Jakarta, circa 2009
“TADAAAAA!!!”
“Kal! Jangan suka ngagetin!” Raga
mencubit pipi Kalla gemas.
“Bengong aja sih kamu! Mikirin apa
sih? Nih, aku bawain kesukaan kamu! Dihabisin ya!” Kalla memberi Raga paper bag coklat dengan huruf M di
depannya tercetak besar.
“Mikirin
kamu sesayang itu sama aku atau engga, Kal!” Raga bergumam dalam hatinya.
“Wah asik, terima kasih ya Kal,
senang banget punya kamu.”
“Senang punya aku karena aku yang
beliin kamu McD apa senang karena aku yang pacar kamu?” Kalla mencibir
pernyataan Raga, menurutnya gaya pacaran mereka ini engga cocok
romantis-romantisan sama sekali. Tapi, Kalla senang dengan hubungan yang
seperti itu, santai, tapi sayang. “Aku
sayang beneran engga sih, Ga, sebenernya sama kamu?” pikiran Kalla
tiba-tiba bertanya pada hatinya.
“Senang… karena punya kamu jadi
pacar aku,”
“…dan karena kamu suka beliin aku
McD jugalah, Kal!” Raga melanjutkan seraya tertawa nakal.
Kalla refleks mencubit lengan Raga
gemas, diam-diam Ia bersyukur dengan format hubungan yang sekarang mereka
miliki.
“Juga
karena kamu yang selalu hafal apa yang paling aku suka tanpa harus aku kasih
tau kamu.”
“Nanti malem aku hadiahin wonderful tonight-nya Eric Clapton sampai kamu tidur nyenyak.”
***
Jakarta, early 2010
“Aku bosen kita gini-gini aja, Ga.”
“Maksud kamu?”
“Ya gini-gini aja. Engga
kemana-mana.”
“Kamu emangnya mau kemana, maunya
gimana, Kalla?” Raga masih tidak mengerti. Jangankan Raga, Kalla sendiri saja
sebenarnya tak tahu apa maksud dari ucapannya barusan.
“Shit,
gue salah apa sama Kalla?”
“Kamu.. Ngebosenin. Hubungan kita,
Ga, kita ngebosenin.” Kalla frustasi tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk
menggambarkan perasaannya saat ini.
“Aku minta maaf.” Raga menjawab
sekenannya. Bukan karena Ia tidak ingin memperjuangkan, namun karena sejujurnya
Ia masih tidak mengerti.
“Wrong
answer, Raga. It was a good saying but it’s not enough for me to stay..”
“Kita putus aja ya, Ga?”
Raga langsung menegakkan badannya,
belum mampu 100% mencerna perkataan kekasihnya semenjak beberapa bulan
belakangan ini. “Kalla is indeed
unpredictable, tapi harusnya tidak semengagetkan ini. Kalla.. Kalla.. Aku
kurang apa untuk kamu..”
“Kal, kita bisa coba ini lagi. Aku
sanggup memperbaiki diri aku untuk kamu, untuk hubungan ini.”
“Bukan, bukan itu masalahnya, Ga.”
“Maafin
aku kalau selama ini aku tidak menganggap kamu mampu meyakinkan aku untuk
benar-benar sayang kamu,” Kalla memejamkan matanya, menahan gemuruh yang
entah apa namanya meradang di dadanya ketika Ia melihat ekspresi di wajah Raga
saat ini.
“Terus apa? Kalla, kamu engga bisa
seegois ini dalam hubungan kita.”
“Aku engga bisa jawab, Ga. Aku pun
engga ngerti. Aku minta maaf ya.” Kalla berdiri sekuat tenaga, pergi
meninggalkan Kopi Kita dan Raga yang tak lagi jadi miliknya.
***
Jakarta, early 2014
“Ga, udah deh lo cowok juga, move
on kali. 4 tahun, man! Engga penting
banget perempuan kayak dia masih aja diinget-inget,” Ardhi, teman baik Raga
menepuk pundak Raga perlahan.
“Nyet, ngga usah ngingetin gue, lo
tau gimana mati-matiannya gue berusaha lupa sama Kalla.”
“…and
it’s killing me.”
***
Jakarta, circa 2014
Kalla bosan, Ia memilih untuk
tidur-tiduran seharian mengisi hari-hari terakhir liburnya. Kemudian Ia menarik
tatakan laptop dan laptop kesayangannya di atas tubuhnya, Ia membuka web page
tumblr miliknya yang sudah lama sekali tak Ia buka.
Tu
me manques.
You
are missing from me.
In
French, instead of saying “I miss you”, you say “Tu me manques” which is closer
to “You are missing from me.”
“Waaah..
So, after all these times, who is the one whose really missing from me, ya?”
“Who
is the one whose really could make me doesn’t function when he’s missing?”
Ia tiba-tiba rindu sekali suasana
di Kopi Kita, racikan kopinya selama ini tidak pernah lebih enak daripada
racikan para bartender handal dan friendly di coffee house kesayangannya tersebut.
Kopi Kita mengingatkan Kalla pada
serial favoritnya, Friends. Di serial
tersebut, coffee house “Central Perk”
juga banyak menjadi setting tempat
utama kisah-kisah para lakonnya.
But
mostly on her mind right now, Kopi Kita mengingatkan Kalla pada sebuah
nama.
***
Jakarta, end 2014
“Hai, Kalla. Apa kabar?” Raga menyapa
wanita yang nampak tergesa-gesa didepannya, yang barusan tak sengaja Ia tabrak.
“Wow! Looks who I just bumped into! Hai, Ga!” Kalla kaget–hampir
hilang kendali–kaget karena Ia barusan tak sengaja ditabrak dan kaget karena
merasa semesta mempermainkan hatinya. Akhir-akhir ini rasanya sedikit
melelahkan, hampir setiap hari ketika malam datang, pikiran-pikiran
membingungkan tentang satu nama mulai merasuki Kalla, Raga. Malam-malam
terakhir menjadi begitu sulit, Ia jadi susah tidur, dan lihat siapa yang Kalla
temui saat ini tanpa disengaja.
“In a rush?”
“Well, kind of. Mau ketemu orang di cafĂ© sebelah. Kamu, ngg… Lo?”
“Mmmm..”
“Engga
mungkin gue ngaku gue lagi kangen banget sama Kalla makanya gue kesini, kan?”
“Mmmm…?”
“Gue tadi mampir aja kesini sebentar
mau beli kopi.”
“Hmm, I see. Okay, then, I have to go ya, Ga. Kapan-kapan kita atur
waktu untuk ketemu. You know how to reach
me, kan?”
“Nomor handphone-nya
belum berubah?”
“Belum kok.” Kalla mejawab seraya
melambaikan tangan dan pergi menjauh dari tempat Raga berpijak, Ia kembali
sendirian di kedai Kopi Kita.
Sudah hampir 5 tahun berlalu sejak
Kalla pernah meninggalkannya persis seperti saat ini. Bedanya Kalla sedang tak
menahan tangis bingungnya, bedanya gemuruh rasa di dada Raga saat ini bukan
lagi kalut, bingung dan kesal, namun rindu. Ia rindu.
***
Jakarta, early 2015
“Jadi, kamu sedang sibuk apa, Ga,
sekarang?”
“Nerusin bisnis papa aja dan baru
aja mulai lanjutin S-3, Kal.”
“…dan
sibuk nyari istri kaya kamu, engga dapet-dapet. Cari dimana ya, Kal, duplikat
kamu itu?”
“Kamu sendiri? Kemarin aku lihat di
Path baru graduation di post graduate
program ya?”
“Wah, sebentar lagi aku kalau
manggil kamu jadi Professor Raga dong
ya?” cucu Adam-Hawa yang sedang melepas rindu itu kembali tertawa bersama. “Iya
baru selesai S-2 kemarin. Ya, gitu aja, Ga, sekarang jadi corporate’s secretary di K&B, tau?”
“Perusahaan si papa banyak jalin kerjasama dengan K&B, Kal. Kalau tau kamu kerja disitu, harusnya bisa pakai akses orang dalem aja ya!”
“Perusahaan si papa banyak jalin kerjasama dengan K&B, Kal. Kalau tau kamu kerja disitu, harusnya bisa pakai akses orang dalem aja ya!”
“You’re
really living your dream ya, Kal.. Hebat...”
Kalla tertawa lagi. “Bisa diatur
kapan-kapan kita lunch meeting.”
“Eh?”
“Ngomongin perusahaan.”
“Ngomongin perusahaan.”
“…dan
kita.”
“Yang kemarin dulu kita engga
sengaja ketemu disini, kamu mau ketemu orang, orangnya engga akan marah kan
kalau kita ketemu-ketemu gini?”
Kalla menjawab tak acuh, “He was no one.”
Raga lega. Ia senang.
Tiba-tiba hujan turun lagi. Hati
Kalla jadi melankolis. Ia teringat perkataan Yessya, sahabatnya, “Kal, hati lo tuh ya, disentuh dikit
langsung rapuh. Terlalu melankolis, serapuh kapas..”. Ia tiba-tiba
tersenyum lagi.
“Seriously, Kal, jangan suka bengong, nanti kesambet petir.”
Kalla tersenyum hangat. “Tu me manques, Ga.”
Giliran Raga yang senyumnya
sehangat mentari di senja yang sejuk ini, samar-samar Ia mendengar lagu Take Me Home milik Us The Duo mengalun pelan dari stereo Kopi Kita.
“You too, Kal.”
I’m
only happy when I'm with you, home for me is where you are.
***
“Mungkin ini bukan tentang aku dan
kamu yang sedang menjauh ya, Ga.
Bisa jadi ini hanya tentang aku dan
kamu yang sedang sama-sama saling memantaskan, saling belajar di hutan rimba
kehidupan, lalu pada saatnya kita akan sama-sama pulang ke rumah.
We
never know.”
***