aku, kamu, dia dan mereka

"Kamu dimana?"
"Di Kopi Kita. Kamu?"
"Aku kesitu."

Hujan membasahi setiap sudut kota metropolitan Jakarta akhir-akhir ini. Antrian mobil bak parkiran di jalanan terutama jalan-jalan protokol pun tak terelakkan, puncaknya pagi dan sore hari, jam bubaran kantor, begitu mereka menyebutnya.

Aisha memilih untuk melipirkan mobilnya ke kedai Kopi Kita yang tak jauh dari kantornya.
"Daripada kaki gue putus ditengah jalan," pikirnya.

"Hai, cantik!"
"Hai! Kok tumben tenggo*?"
"Lagi pengen aja. Pusing, lagi mumet di kantor, mending ketemu kamu," jawab Adry dengan senyuman khasnya.

Aisha dan Adry, pasangan sempurna, begitu mereka mencap kedua sejoli itu. Pasangan yang sudah sama-sama jatuh hati semenjak pertemuan pertama kalinya 5 tahun yang lalu. 5 tahun, bagi mereka, sudah cukup rasanya bagi kedua pasangan itu untuk menikah. Umur kedua pasangan tersebut sedang, tidak terlalu muda atau tua, dengan jarak antar keduanya yang sedang pula, ideal malah, terpaut 4 tahun. Dalam segi ekonomi, dirasa mereka keduanya-pun sudah mapan, sama-sama bekerja di perusahaan multinasional dengan jabatan yang tinggi untuk seumuran pasangan tersebut dengan gaji yang jauh di atas rata-rata. Sehingga memang agak membingungkan mengapa tak kunjung undangan pernikahan berinisial A&A sampai ke tangan mereka.

Seorang wanita tinggi, berbaju merah dengan jeans hitam ketat dan sepatu high heels merah pula, rambutnya terurai, memasuki kedai Kopi Kita yang tidak jauh dari kantornya juga.

"Dry? Aku kira kamu masih di kantor, biasanya lembur?" Wanita itu dengan santai menyapa sosok yang sedang bercakap hangat dengan Aisha.
"Teman sekantor kamu ya?" Wanita asing itu melanjutkan.

Aisha melirik ke Adry, kemudian ke wanita tersebut yang belakangan diketahui bernama Kirana, lalu kembali ke arah Adry, menunggu jawaban, kepastian.

Adry bergeming. Pikirannya kalut, jantungnya berdegup kencang, wajahnya yang biasanya merona seperti bayi–begitu biasa Aisha menyebutnya–mendadak pucat pasi. Kedua wanita tersebut sama-sama menatap tajam Adry, mencari kebenaran, menantikan sebuah kepastian.

1 menit, Adry tetap bergeming. Aisha gerah, diambil tote bag hitam miliknya di sebelah kursinya kemudian Ia beranjak dari sana.
"Ngga, kita ngga sekantor," Aisha akhirnya bersuara, menjawab si wanita itu dan memilih untuk angkat kaki dari situ.

Dengan grasa-grusu kemudian sedikit berteriak sambil mengejar wanita yang tadi berada di sisinya hangat, "Aisha!"

Aisha berlalu cepat, tidak menerima penjelasan. Dengan gemingnya Adry, Ia tahu Ia melakukan hal yang memang seharusnya dilakukan.

Apa yang Aisha pelajari hari ini sangat jelas.
Apa yang terus mereka katakan, tidak selalu benar.



*tenggo = istilah pekerja kantoran "Teng, Go" artinya ketika sudah waktunya pulang tidak lembur