segitiga tidak sama sisi

Ben
Sambil menyesap kopi hitam favoritnya, wanita di depan gue ini berkata seraya tertawa kecil, “Gue mau move on dari dia tuh selalu jadi wacana aja ya, Ben?”
Gue tidak membalas, hanya tersenyum. Pahit. Mungkin sepahit kopinya.
“Gimana gue mau pindah ke tempat yang baru, Ben, setiap kali gue coba, dia selalu tiba-tiba datang lagi. Seakan tau gue ingin pindah tapi enggak pernah memperbolehkan.” Ia melanjutkan, kali ini dengan tatapan mata menerawang.
Mata yang selalu membuat gue jatuh cinta, ribuan kali, lagi dan lagi. Tapi sialnya, mata penuh harap itu tidak pernah bisa melihat bahwa ada sepasang mata lain di hadapannya yang juga sedang jatuh cinta terhadapnya.

Aurora
Gelas kopi kedua sudah aku habiskan bersama Ben, sahabat lelaki di depanku yang sedari tadi setia mendengar cerita-cerita nonsenseku tentang seseorang yang sudah lama menyesakkan anganku tentangnya tanpa pernah betul-betul Ia sadari. Alghi, namanya.
Kalau kalian ingin mendengar cerita tentang seorang wanita yang menyukai seseorang, namun Ia tidak sadar bahwa ada orang lain yang juga menyukainya, mungkin kalian tidak akan menyukai cerita ini.
Come on, aku tidak bodoh, tidak juga hidup di dunia fana. Aku sadar betul Ben menaruh perasaan lebih terhadapku. Sejak lama. Mana mungkin Ia tidak menyukaiku kalau Ia selalu siap sedia datang setiap kali aku menelfon dia untuk sekedar menemani makan siang agar aku tidak sendirian. I don’t make a lot of friends, he knows that. He also puts attention on little things of me, very well. Lelaki ini selalu ada untukku and it clearly explains everything already.
Lantas, apakah aku jahat, sudah tahu Ben menyayangiku dengan tulus ikhlas –or whatever you call it– masih terus menumpahkan segala macam cerita tentang Alghi? Well, I don’t think so.
I have one point here. Ben tidak pernah bilang. That’s that. Ben pasti menganggap dengan bungkamnya dia, aku tidak tahu perasaannya. Jadi, anggaplah saja aku tidak tahu bahwa Ben menaruh rasa terhadapku dan aku bisa bercerita apapun tentang Alghi kepadanya.
Namun apabila ditanya mengapa Ben tak kunjung mengatakan perasaannya, aku tidak tahu pasti. Mungkin karena Ia memilih untuk menjaga persahabatan aku dengannya atau mungkin Ia tahu akan sia-sia apabila Ia menyatakan perasaannya karena aku cinta mati sama Alghi.
Enough of Ben. Now, we’re moving to Alghi.
Alghi, on the other side, berbeda dengan Ben. Aku tidak pernah bisa membaca jalan pikirannya, terhadap aku, at least hanya itu dari dia yang selama ini selalu ingin aku ketahui.
Tapi satu hal yang aku yakini pasti dari Alghi, Ia tahu perasaan aku terhadapnya. Sejelas aku tahu rasa Ben terhadapku.
Aku tidak pernah mengkomunikasikan perasaanku verbally terhadap Alghi, tidak juga dengan perbuatan atau perhatian lebih yang secara gamblang aku perlihatkan terhadap dia. Tapi aku yakin, Ia mengetahui. Melalui gerak tubuh aku yang tiba-tiba kikuk setiap kali kami berjumpa, mataku yang tidak pernah secara langsung melihat matanya ketika kami berbicara dan banyak hal lainnya.
Sekali lagi, aku tidak bodoh.

Ben
“Stop ah ngopinya. Enggak bagus banget perempuan minum kopi banyak-banyak. Sudah malam, Ra. Nanti susah tidur lagi kayak semalem.” Gue mencegah Aurora untuk memesan kopi lagi pada bartender di Kopi Kita, kedai kopi favorit kami ini. “Pesen susu aja, Ra, atau jus.”
Aurora, nama yang indah, seindah wajahnya yang gue kagumi dalam diam, seindah hatinya yang absurd namun selalu menarik untuk gue telaah lebih dalam.
Biasanya, wanita yang sekarang berada di depan gue ini setiap kali sedang kalut, selalu menelfon gue untuk menemani dia minum kopi sambil bercerita.
“Kalaupun gue enggak bisa tidur, kan ada lo juga Ben yang nemenin,” ujarnya sambil tersenyum manis ke arah gue.
Gue terdiam.
“Ben, seandainya nanti gue sama Alghi, dia harus tahu kalau lo adalah manusia paling penting dalam kisah cinta gue dan dia. Dia harus banyak berterima kasih sama lo.”
“Untuk apa dia berterima kasih sama gue?”
“Pertama, karena lo udah ngejagain gue. I would like to thank you for that as well. Kedua, karena lo tidak pernah menyuruh gue untuk berhenti mencintai dia,” ujarnya.
Gue menelan ludah.
“Udah malem, Ra. Kita pulang yuk. Lo kan belum tidur dari semalem.”

Alghi
“Apa yang membuat lo selalu menolak sih, Ghi? Siapa yang enggak mau sama dia?” tanya Sheilla, teman satu divisi di kantor gue yang juga teman satu universitas gue dan Aurora.
Gue dan Sheilla sedang makan siang di kantin kantor yang cukup ramai siang itu. Gue lantas membalas dengan cepat, “Gue enggak pernah menolak, Sheil!”
“Ya apa deh, Ghi. Menolak atau melakukan pembiaran buat gue sama aja. Aurora, Ghi. Dari jaman muka lo masih culun aja udah cinta mati itu anak sama lo. Kenapa enggak?”
Gue bungkam.
“Jangan klise deh lo, Ghi, kalau cuman karena alesan dia terlalu pintar, terlalu baik, terlalu kaya raya dibandingkan dengan lo.”
 “Gue enggak pernah memulai suatu hubungan dengan wanita, Sheil. Gue enggak pernah tahu harus memulai darimana. Mungkin akan lebih baik gue begini aja sama Aurora. Gue tahu perasaan dia, mungkin nanti saat gue sudah siap membuka hati gue untuk dia, gue akan bilang ke dia dan menerima dia seutuhnya. Kalau dia cinta mati ke gue, seperti apa yang lo bilang, dia akan sabar nunggu gue.” jawab gue panjang.
“Satu hal yang harus lo ingat ya, Ghi. Dia suatu saat mungkin akan lelah menunggu. Jadi, berdoa aja dia masih ada menunggu lo ketika akhirnya lo siap.”
“Kita sedang berbicara tentang perasaan, Sheilla. Gue tidak menganggap ini merupakan ajang perlombaan dan Aurora hadiahnya. Gue hanya butuh waktu untuk meyakinkan diri gue sendiri. Apabila dalam proses itu Aurora menemukan yang lain, yang menurutnya lebih baik daripada gue. Ya, silahkan.”

Aurora
“I’ve had enough of Alghi, Ben.” aku berujar ketika Ben sedang melahap tuna aglio olio kesukaannya.
Ben sontak melihat ke arahku. Air mukanya langsung berubah, meskipun berusaha Ia tutupi mati-matian. Aku tahu mungkin ini satu waktu yang paling ditunggu oleh Ben. Ketika aku akhirnya menyerah pada lelah, terhadap Alghi.
“Kenapa lagi kali ini, Ra?”
Ben mengerti, Ia sudah pernah mendengar omonganku yang satu ini ratusan kali. Setiap kali aku mengatakan bahwa aku ingin menyerah terhadap Alghi, aku pasti mempunyai alasan yang cukup kuat untuk itu. Suatu saat aku ingin menyerah karena tidak sengaja melihat Alghi pulang kantor bersama seorang wanita, lain waktu aku ingin menyerah karena Alghi bahkan tidak ingat hari ulang tahunku dan banyak saat-saat lainnya ketika aku ingin menyerah. Namun sejauh ini tidak pernah ada yang membuat aku benar-benar menyerah, aku selalu kembali kepada Alghi. Kepada khayal imajinasiku terhadap seseorang bernama Alghi.
“Kali ini, gue enggak punya alasan kenapa gue ingin menyerah. Capek, Ben.” aku mulai menduduk, menahan air mata yang sebentar lagi membasahi wajahku.

Ben
Ada ancient proverb yang mengatakan bahwa hal termudah yang bisa membuat wanita jatuh cinta adalah tertawa. Gue, dengan bangga, dapat mengatakan bahwa gue adalah Aurora’s laugh machine, dia selalu tertawa karena gue, yet dia tidak jatuh cinta terhadap gue.
Maka gue menganggap bahwa ancient proverb yang mengatakan itu melupakan fakta bahwa wanita yang kita buat tertawa itu bisa saja sedang jatuh cinta kepada orang lain yang membuat dia dengan mudah menangis, instead of tertawa.
Sama halnya seperti wanita di depan gue ini. Aurora menangis. Ia menunduk, namun gue tahu Ia menangis.
Barusan Ia mengatakan her magical words well, karena impossible bagi gue untuk berharap dia akan mengatakan I love you kepada gue, so I call it magical– bahwa dia lelah terhadap Alghi. She has had enough of Alghi.
Biasanya setelah dia mengatakan niatnya untuk menyerah kepada gue, maka 2 jam ke depan gue akan direnteti dengan cerita dia tentang mengapa Ia ingin menyerah lalu ceritanya akan diakhiri dengan kata-kata, “Mungkin gue harus ekstra sabar aja ya, Ben?”.
Namun, kali ini berbeda. Ia hanya berujar hampir berbisik bahwa Ia lelah. Menunjukkan bahwa Ia benar-benar lelah. Lalu menangis. Kali ini, gue anggap dia benar-benar ingin menyerah.
Harusnya gue senang karena akhirnya gue mempunyai kesempatan.
Tapi nyatanya hati gue tersayat.
Gue tidak lagi berhasrat membuat Aurora tertawa untuk membuatnya jatuh cinta kepada gue. Gue hanya ingin dibiarkan untuk menghapus air matanya.

Aurora
“Kenapa enggak pernah bilang, Ben?” aku tiba-tiba bertanya hal yang ingin kuketahui dari Ben sejak lama. Tentang perasaannya kepadaku.
Ben terlihat sedikit kaget, Ia terdiam.
“Jawab, Ben.”
“Gue… Nggg, gue cuman enggak mau ngerusak apapun yang sekarang udah kita jalanin, Ra.”
There he finally said it, tapi aku tidak cukup puas.
You know, I play fair to everything. Gue enggak akan menjauh dari lo atau merusak hubungan baik kita hanya karena lo menyukai gue, Ben.”
I want to have you as mine. I always want to. Tapi tadi, melihat lo menangis seperti itu, membuat gue sadar bahwa hal yang paling gue inginkan selain memiliki lo adalah melihat lo bahagia. Ketika tadi gue mendengar lo akhirnya ingin benar-benar menyerah, gue nyatanya sadar bahwa gue tidak begitu menginginkannya. Apa arti bahagia gue kalau melihat lo melepaskan Alghi bisa membuat lo menangis sesedih itu.”
Ben melanjutkan, “You don’t have to say a word, Ra. Let out your tears then let me wipe them all.”

Ben
Dia sudah tahu.
Bisa apa gue selain mengaku?

Alghi
Aurora, wanita yang gue tahu selalu memalingkan mukanya ketika dulu gue datang ke tempat Ia sedang bercengkrama dengan teman-teman gue yang lain di bawah pohon beringin di kampus kami dulu, tempat gue dan teman-teman gue yang juga teman-teman dia biasanya nongkrong sembari menunggu kelas selanjutnya atau ketika kelas usai.
Aurora jugalah wanita yang paling pertama bertanya kepada anak-anak tongkrongan itu mengapa gue tidak masuk kuliah ketika demam berdarah menghinggapi tubuh gue dulu dan mengajak anak-anak itu menjenguk gue. Sheilla pernah memberi tahu gue tentang ini.
Aurora juga wanita yang selalu paling pertama mengucapkan ulang tahun kepada gue, bahkan ketika hari ulang tahunnya selalu terlewatkan oleh gue.
Mungkin Sheilla tidak salah dengan tebakannya, mungkin benar fakta bahwa Aurora terlalu sempurna untuk gue adalah alasan terkuat mengapa sampai sekarang gue tidak membuka pintu hati untuknya.
Mungkin Sheilla juga benar, bahwa Aurora lambat laun pasti akan lelah menunggu kesiapan gue untuk menerima dia.
Gue tahu gue salah, tapi apabila gue putar balikkan kata-kata gue, bahwa perasaan ini adalah ajang perlombaan dan Aurora adalah hadiahnya, maka ketika Aurora lelah dan menyerah, gue akan mundur dari ajang ini, menganggap gue kalah dan memang tidak berhak menerima Aurora sebagai hadiah karena dari awal gue tidak mengusahakan untuk memenangkan Ia seperti yang lain.

Aurora
Pagi ini aku terbangun dengan mata sembab. Aku menangis semalaman. Di tengah rasa sakit dan kantuk yang mendera mataku pagi ini, sebuah pesan hangat masuk seakan mengetuk relung hatiku.
Benjamin Bhrasungko: Gue di coffee shop apartment lo nih. I know the coffee here not as good as in Kopi Kita, but if you’re awake already, let me know, I’ll bring you a hot espresso.
Well, maybe a cup of coffee will give you a shot, Ben. Maybe.